Selasa, 12:27. Seorang teman dekatku mengirim sesuatu ke grup. Aku segera membukanya untuk memberikan tanggapan. Temanku ini seorang ibu baru. Dari artikel yang aku baca, perempuan yang sedang merawat bayinya terkadang merasa jenuh, bosan dan kesepian. Jadi sebisa mungkin aku membalas pesannya dengan cepat. Itu adalah postingan baru salah seorang selebgram, rekaman cctv, baru melahirkan sesar, anaknya baru berusia kurang lebih dua minggu, suaminya memukuli dia, bayinya didorong pakai kaki sampai terlihat terkejut dan kejang.

Rasanya aku membeku saat melihat itu. Mencerna terlebih dahulu apa yang baru saja aku lihat. Perasaan mual, marah, geram dan sedih bercampur aduk. Orang gila... aku membatin. Aku pun hanya bisa memberi respon 'ngeri banget'.

Aku belum menikah, bahkan belum pernah punya hubungan relationship yang serius. Aku merasa tidak pantas mengomentari masalah yang diumbar di sosial media begini. Pikirku sekilas. Namun ternyata, aku salah.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bukanlah sesuatu hal yang bisa selesai begitu saja. Kalau yang belum menikah, disakiti secara fisik oleh pasangannya adalah kategori dari hubungan toxic. Sangat amat sulit keluar dari lingkaran ini. Pertama, karena paradigma masyarakat yang kental dengan agama. Untuk umat kristiani, tidak mengenal kata berpisah. Untuk umat islam, opsi berpisah ada, tapi pahala menjalan dan menerima 'ujian', besar katanya.

Sehingga seringkali ditemukan pasangan-pasangan yang bertahan lama dalam hubungan mengerikan ini merasa bahwa mereka berhasil menerima takdir dan menjalankan ujiannya.

Saat kerja di daerah dusun, seringkali aku terpaksa turut mendengar ibu-ibu bergosip. Cerita si fulan dan fulanah yang kejar-kejaran mengelilingi rumah mereka tengah malam sambil membawa parang karena si istri marah suaminya ketahuan menghabiskan uang untuk menyawer perempuan lain. Suaminya marah karena saat dia pulang istrinya tidak menyiapkan makanan untuknya. Kompleks sekali. Tapi cerita itu ditutup dengan 'semua masalah selesai diatas ranjang'. Betul saja, beberapa bulan kemudian aku bertemu dengan fulanah yang digosipkan tempo hari. Perutnya sudah membesar, tangan kiri terisi plastik belanjaan, tangan kanan menggenggam balitanya. Dia tersenyum kepadaku dan bertanya basa-basi kapan aku menikah.

Meskipun aku cukup tomboi dari segi perilaku, secara hormonal tentu aku sama dengan normalnya perempuan. Mood yang naik turun, emosi tidak stabil menjelang menstruasi sampai kadang saat hari pertama perut rasanya ditusuk-tusuk dari dalam, masuk angin yang tidak bisa diobati dan berbagai rasa sakit lainnya yang hanya bisa mereda setelah melalui waktunya.

Lantas, bagaimana aku memahami level sakitnya perempuan baru melahirkan yang artinya emosinya pasti masih dipengaruhi hormon pasca melahirkan, jahitan yang belum kering, payudara yang membengkak karena sedang memberi ASI, harus dipukuli oleh orang yang seharusnya memberinya kenyamanan, rasa aman, rasa percaya kepadanya?

Semua umat manusia kecuali nabi Adam, diberi nyawa di ruangan bernama rahim. rahim itu hanya ada di Perempuan, bahkan tidak di semua perempuan, karena sakit. Untuk laki-laki dipastikan keseluruhannya, mau sehat maupun sakit, sampai kelainan genetika tidak pernah ada pemilik kromosom Y secara ajaib ada rahimnya, ada ovariumnya. Ga ada.

Memiliki rahim memang anugrah luar biasa, setara dengan hecticnya proses hormonal yang berulang setiap bulan dari pubertas sampai menopause. Yah 40 tahunan lah ngadepin proses mengeluarkan sel telur yang enggak dibuahi itu setiap bulannya. Bukan kaya sel sperma yang makin dikeluarin makin enak, bahkan jika tidak dikeluarkan sama sekali gak apa-apa, aman, karena bisa diserap kembali oleh tubuh. Perempuan nyoba nahan ga menstruasi? udahlah sakit, nambah penyakit namanya.

Jadi kok bisa ya kalau ada orang waras yang merealisasikan candaan bentuk cinta physical attack. Pada seorang ibu yang baru melahirkan pula.

5 tahun bukan sesuatu yang sebentar bagi selebgram tersebut yang ternyata atlit anggar harus menerima perlakuan seperti itu dari pasangannya. Artinya dia sebenarnya punya power untuk melawan balik, tapi kehidupan pernikahan bukanlah ring tinju. Ia pikir dengan bersabar, pasangannya akan berubah. Ia pikir dengan bertahan, pahalanya akan berlimpah ruah. Ia pikir dengan menutupi yang katanya aib akan menjaga martabat dan harga diri keluarganya.

Suatu ketika, masih di daerah dusun. Aku duduk di sebuah warung yang menyediakan mesin dingdong yang tak pernah aku diizinkan untuk membeli koin biar bisa memainkannya. Pemiliknya adalah sepasang lansia yang senang merawat cucu-cucunya. Si Nenek bercerita padaku bahwa ia sempat ditinggalkan bertahun-tahun oleh si Kakek yang pergi sama perempuan lain. setelah harta si Kakek habis, ia mengemis-ngemis agar diterima kembali kerumah oleh si Nenek. Mereka tak memang tak pernah bercerai. Si Nenek bertahan dan mengatakan kepada anak-anaknya bahwa si Kakek pergi merantau untuk bekerja. Jika pada suatu bapak mereka pulang dan tidak membawa apapun, jangan ditanya-tanya, ia pasti lelah bekerja penuh peluh namun tidak membawa hasil dan mengecewakan keluarga. Syukurnya sang anak patuh dan tidak terjadi huru-hara apapun di rumah tangga mereka. Itu cerita si Nenek. Tak lama, cucunya pun di jemput oleh orangtuanya. Si Anak bertanya padaku cerita apa aja sama Kakek dan Nenek? aku jawab soal Kakek yang dulu kerja merantau. Si Anak tersenyum kepadaku, "Kami tau cerita sebenarnya, masa kecil kami dipenuhi dengan cerita tetangga". Dan si Anak ini juga belum lama ditinggal 'kerja merantau' oleh suaminya.

"Pada akhirnya, pilihan menyembunyikan tidak menyelamatkan untuk jangka panjang.

Aku adalah orang yang spontan. Sulit sekali menyembunyikan emosi. Tapi semua selesai di detik spontanitasku. Jika aku bermuka datar dan seolah tidak menujukkan emosi apapun pada suatu situasi, itu karena ada banyak emosi yang saling tumpang tindih dan tidak ada yang mendominasi untuk terekpresikan dengan baik. Seperti kepergian dari orangtua teman misalnya. Perasaanku campur aduk antara takut akan menghadapi hal itu, sedih melihat teman sedih, dan ingin menghibur teman yang sedang merasa kehilangan juga.

Sama seperti saat temanku, seorang ibu muda yang suaminya sering pergi keluar kota, mengirimkan berita perihal selebgram ini. Aku paham kekhawatirannya, aku paham kekalutannya, aku paham keparnoannya, tapi aku gaada disampingnya. Hanya lewat chat, siapa yang bisa memberikan respon terbaik?

Lalu pagi tadi aku membuka story beberapa teman dan sudah ada yang share template terkait orang-orang jadi takut menikah, nasihat-nasihat pernikahan dan sebagainya.

Jika ditanya apakah aku jadi punya ketakutan menikah, tentu saja aku katakan tidak. Aku percaya sepenuhnya terhadap pemberi takdir dan akan menjalaninya dengan spontanitas. Kalau aku tidak suka orangnya, ya spontan aku akan mengatakan tidak. Karena ngobrolnya tidak nyambung, karena ia merokok, karena ia terlihat merendahkan perempuan dari bahasanya, karena ia tidak menomorsatukan panggilan adzan, karena ia pakai celana pendek, karena aku melihatnya marah, karena ia tidak terlihat benar-benar tertarik padaku, karena ia maunya pacaran dulu, jalanin dulu dan sebagainya, ya sudah, tidak. Pemilih banget? ga juga, nunggu yang spontan aja aku bilang iya, uhuy.

Aku menulis ini untuk merilis emosi yang sedang campur aduk. Perlahan rasanya makin tenang. Biasanya aku menulis hal-hal seperti ini di platform lain. Tapi aku rasa untuk kali ini aman menulisnya di blog utama.

Ada banyak kehidupan pernikahan yang kulihat gagal di sosial media, namun lebih banyak pernikahan bahagia yang aku lihat di dunia nyata. Lantas selama aku belum menikah, artinya Allah kasih aku untuk melihat lebih banyak, belajar lebih banyak. Terutama dalam hal Agama. Kisah setiap perempuan sudah ada dari jaman dahulu kala. Aku diberi kajian oleh kakakku sendiri kisah istri-istri Rasulullah. Bagaimana sikap terhdap istri yang usianya lebih muda, bagaimana bersikap pada istri yang lebih tua, pada yang sebaya, pada yang janda, pada yang gadis, pada yang pintar, semua sudah ada contohnya. Lalu kalau contoh kejahatan seperti kasus yang sedang kita bahas pertama? ada...

Cuma karena aku bukan ahli hadist ya jadi gaakan aku bahas detail disini. Garis besar ceritanya, di jamannya Rasul ada seorang wanita mulia dan suaminya juga bukan orang sembarangan, karena emosi, terjadilah pertengkaran sampai si anaknya denger dan mau bela ibunya. si suami ini karena emosi bilang ke anaknya kalau dia masuk untuk nyelametin ibunya, maka jatuh talak. Akhirnya jatuh talak karena anaknya nyelamtin ibunya. Dan si Istri mengadukan hal ini ke Ayahnya. Akhirnya pisah, cerai.

Saat aku menulis ini tiba-tiba dapat kabar lagi kalau suaminya sudah ditangkap dan dimintia keterangan, alasan suaminya emosi karena istrinya marah dia ketahuan nonton porno...

....

Adu...uh

Ga normal.

Istrinya baru lahiran, lagi menyusui, pasti punya rasa insecure sama tubuhnya. Malah ngedapatin suaminya nonton porno... wajar banget, amat sangat wajar dan normal istrinya pasti histeris. Lalu malah dipukulin suaminya. Dia yang salah, dia yang marah. Dan jujur aja aku bilang, orang-orang yang paham agama atau setidaknya kelihatan belajar agama kalau ketahuan nonton porno ini pasti emosinya langsung meledak kayak kesetanan. Karena memang terjadi penyusutan kemampuan fungsi otak dan gangguan kestabilan emosi. Cari aja risetnya, banyak.

ha.... cukup sudah sosial media hari ini. Kepada semua yang dianugrahi anak laki-laki, tolong anaknya benar-benar dipersiapkan jadi laki-laki. Dipahamkan fitrahnya laki-laki. Kalau anaknya terlihat tidak bisa jadi laki-laki seutuhnya, tolong jangan dipaksa menikah biar keluar kejantanannya lah, biar bisa tanggung jawab dan jadi laki-laki lah, tidak semudah itu... tidak...

Firaun itu dzalim sama orang, ngaku-ngaku tuhan, tapi enggak nyakitin istrinya. Asiyah memang kecewa karena suaminya jahat dan kesabaran bertahan dengan suaminya yang kafir itu namun tetap teguh pada agamnya yang membuatnya masuk syurga.

Untuk siapapun diluar sana yang berpasangan dengan suami yang selingkuh, kdrt dan judi, semoga segera berikan keberanian untuk mendapatkan jawaban yang lebih baik... Aaamiin...